SEMARANG- Untuk mewujudkan penegakan hukum, tak bisa hanya mengandalkan pada sistem peraturan perundang-undangan yang baik dan memadahi. ''Manusia dengan perilakunya juga harus memiliki kepribadian, kemampuan, dan integritas yang baik. Ia juga harus memiliki kesadaran dalam mentaati peraturan yang berlaku.'' Hal tersebut diungkapkan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat upacara penganugrahan doktor honoris causa (Dr HC) dirinya di Gedung Prof Sudharto SH, Undip Tembalang (18/7).
Hendarman adalah orang ketujuh yang dianugrahi gelar doktor honoris causa oleh Undip. Sebelumnya, perguruan tinggi itu juga pernah memberikan gelar yang sama pada mantan Menlu Ali Alatas SH, Sri Paduka Baginda Tuanku Ja'far Inbi Alamahum Tuanku Abdul Tahman Yang Dipertuan Agong X Malaysia , Menteri PU Djoko Kirmanto, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur DKI Sutiyoso, dan Meneg PAN Taufiq Effendi.
Dalam pidatonya yang berjudul ''Membangun Budaya Antikorupsi Sebagai Bagian dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia'', pria kelahiran Klaten 6 Januari 1947 itu berpendapat tingginya kasus korupsi di Indonesia merupakan indikator bahwa tingkat ketidakjujuran berada pada level yang memprihatinkan. ''Padahal sikap jujur dalah salah satu sarana untuk menghindarkan diri dari sikap koruptif.'' Menurut alumnus FH Undip 1972 itu, jika budaya jujur (antikorupsi) dan integralitas moral masih belum terbina dan terbentuk maka belum tentu budaya korupsi bisa diberantas tuntas walaupun kepolisian, kejaksaan, dan KPK terus melaksanakan tugasnya selama puluhan tahun.
Di hadapan para civitas akademika Undip dan para pejabat yang hadir, Hendarman tidak saja memaparkan teori dan konsep penanggulangan korupsi. Dia juga memaparkan karya nyatanya. Bekerjasama dengan Karang Taruna, ia membentuk dan membina 7.456 kantin kejujuran di seluruh Indonesia. Sekolah Pangeran Diponegoro di SMAN 3 Jakarta, dibentuknya sebagai sekolah antikorupsi. ''Moral generasi muda adalah aset utama sebuah bangsa. Dengan mempersiapkan mereka agar memiliki sikap hidup, moral, dan mental yang baik serta perilaku jujur adalah cara efektif mencegah dan menanggulangi munculnya koruptor di masa depan.'' Mengingat pembinaan budaya antikorupsi juga harus menyentuh semua lini, maka kantin kejujuran tidak hanya ada di sekolah namun juga di lembaga/instansi, termasuk kejaksaan.
Pada jumpa pers yang dilaksanakan sehari sebelum penganugrahaan gelar, Jaksa Agung menegaskan bahwa dalam pemberantasaan korupsi, pihaknya bekerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan MA. ''Dengan kepolisian misalnya, kerjasama harus bersinergi, tidak kejar-kejaran.'' Kalau ada perkara yang mandeg, sambungnya, harus diselesaikan bersama dan dicari penyebabnya, misalnya apakah alat buktinya kuat atau tidak. Dengan MA, ujarnya, kejaksaan juga telah menandatangani nota kesepahaman terkait pengeluaran vonis. ''Pokoknya, surat vonis harus keluar begitu perkara diputuskan oleh hakim. Kalau dulu kan tidak seperti itu dan ada biayanya pula.''
Seperti diberitakan, Undip mendapat kritikan dari beberapa lembaga terkait pemberian gelar doktor HC kepada Jaksa Agung yang dinilai belum bisa menyelesaikan banyak kasus korupsi. Namun demikian Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med Sp And menjelaskan bahwa gelar itu diberikan pada Hendarman atas dasar keilmuan yang dimiliki dan juga terobosannya mendirikan kantin kejujuran untuk menanamkan budaya antikorupsi. Undip berpendapat, pemikiran-pemikiran Hendarman setara dengan disertasi seorang doktor. (H11-)
SEMARANG- Pemberian gelar doktor honoris causa pada Jaksa Agung RI Hendarman Supandji SH CN didasarkan karena keilmuan yang dimilikinya, bukan karena hal lain. Hal itu diungkapkan Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med Sp And menanggapi pro-kontra beberapa elemen yang mempertanyakan alasan Undip memberikan gelar itu pada Jaksa Agung yang dinilai masih banyak ''berhutang'' kasus penyelesaian korupsi.
Saat memberikan keterangan pers di di Gedung Prof Sudharto SH (17/7), Rektor menjelaskan, konsep pemberantasan korupsi yang selalu dipaparkan Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan seperti seminar terutama di Undip, dinilai sama dengan disertasi seorang doktor. ''Jaksa Agung selalu memaparkan tentang konsep mengedepankan kejujuran untuk mengubar kultur bangsa. Ia sadar, sampai masa jabatannya berakhirpun, tak mungkin korupsi akan hilang sama sekali.''
Karena itulah, ujar Rektor, Hendarman melakukan berbagai terobosan seperti mendirikan kantin kejujuran di berbagai sekolah. Saat ini sudah ada 7 ribuan kantin kejujuran yang ada di SMA di seluruh Indonesia. ''Hendarman berusaha membudayakan kejujuran sejak dini. Bagaimanapun juga, korupsi tidak bisa semata diberantas dengan peraturan dan perundangan. Semakin banyak peraturan dan perundangan dibuat, semakin banyak pula pelanggaran yang terjadi.''
Tak Pernah Mimpi<
Hendarman yang meraih gelar S1nya dari FH Undip pada 1972 itu mengungkapkan bahwa ia tak pernah mimpi akan mendapatkan gelar doktor honoris causa dari almamaternya. Sebenarnya, cita-cita awalnya ingin menjadi tentara. Namun karena tidak diterima, ia masuk FH Undip. ''Setelah lulus, saya lebih tertarik jadi hakim namun karena pada saat itu pekerjaan yang dilakukan kurang menantang yakni hanya mengelipingi berita-berita di koran, maka saya berhenti.'' Pada 1973 ia mulai merintis karirnya di kejaksaan walaupun sebenarnya bertentangan dengan hati nurani karena pada saat itu pemerasan dan penyuapan sangat marak.
Ingin Berhenti
Ia mengaku sempat beberapa kali ingin berhenti dari kejaksaan namun dosennya di FH Undip, Prof Satjipto Rahardjo menasihatinya agar tidak putus asa menghadapi rintangan. Dalam meniti karier di kejaksaan, Hendarman lebih banyak melibatkan diri dalam pembinaan mental/jiwa aparat kejaksaan dalam hal kejujuran daripada mengurus perkara. Untuk meningkatkan kinerja jaksa, Hendarman berusaha merampingkan organisasinya menjadi miskin struktur namun kaya fungsi. Pasalnya, dengan organisasi yang besar, beban pekerjaan tidak imbang. ''Ada yang menganggur tapi ada pula yang kerja sampai pagi.''
Salah satu hal yang menimbulkan masalah dalam kinerja para jaksa adalah minimnya anggaran. Dalam satu tahun, kata dia, jumlah perkara pidana umum yang masuk ke kejaksaan mencapai 250 ribu. Padahal hanya 6 ribu perkara yang dibiayai pemerintah. Sisanya, jaksa harus keluar ongkos sendiri seperti memangil saksi, korban, dan sebagainya. ''Inilah salah satu sebab lahirnya jaksa-jaksa nakal. Jelas gajinya tak akan cukup, apalagi ia harus membiayai sekolah anak, bayar listrik, dan sebagainya. Masalah ini sudah saya sampaikan ke DPR.''
Terobosan lain yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja para jaksa yakni mengubah instrumen penilaian dari jam kerja menjadi hasil kerja. ''Ada jadwal yang sudah ditetapkan dalam menyelesaikan perkara. Jika molor, ada sanksinya.'' (H11-)
SEMARANG- Selama ini masih banyak masyarakat menganggap bahwa sekolah biasa seperti SD/SMP/SMA/SMA adalah segala-galanya. Sementara madrasah masih dianggap sebelah mata. ''Anggapan tersebut jelas salah besar. Padahal dari segi kualitas, madarasah sekarang ini tidak kalah bagus dari sekolah biasa.'' Hal tersebut diungkapkan Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jateng, Drs Mulyani M Noor MPd, menanggapi proses penerimaan perserta didik (PPD) 2009.
Dijelaskannya, banyak satuan pendidikan di madrasah yang sudah mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Lulusannyapun, imbuh dia, banyak yang menjadi tokoh nasional maupun internasional. Hampir seluruh tenaga pendidik di madrasah, sudah memenuhi syarat kualifikasi akademik. ''Bahkan banyak yang lulusan S2. Pemerintah dalam hal ini Depag sudah mulai serius mewujudkan tuntutan 8 standar minimal pendidikan.'' Terutama, sambung Mulyani, dalam komponen sarana prasarana seperti bantuan laboratorium bahasa, IPA, komputer, dan lain-lain.
Dilihat dari eksistensinya, ungkap Mulyani, madrasah dari berbagai tingkatan mulai dari madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA) sebagai satuan pendidikan juga menjamin terbentuknya kualitas peserta didik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. ''Dalam aspek kognitif, madrasah berani menjamin peserta didik lebih menguasai materi pelajaran umum jika dibandingkan dengan peserta didik di sekolah asal peserta didik serius belajar.'' Sedangkan dalam aspek afektif dan psikomotorik, Mulyani berpendapat bahwa madrasah lebih unggul daripada sekolah biasa. Pasalnya di madrasah, pembentukan perilaku sangat menonjol. Peserta didik mempunyai pemahaman dan pengamalan yang baik terhadap masalah-masalah agama jika dibandingkan dengan peserta didik sekolah biasa.
''Bukanlah omong kosong jika saya mengatakan bahwa madrasah mempunyai peluang dan digandrungi masyarakat. Buktinya, banyak SMP di Jawa Timur yang gulung tikar, sementara di sebelahnya berdiri megah MTs.'' Di Kecamatan Wedung, Demak, tandasnya, ada beberapa SD yang hanya mendapatkan lima peserta didik. Sementara MI di sebelahnya berkembang pesat dan banyak diminati banyak orang.
Mulyani mengakui, upaya menjadikan madrasah diminati masyarakat tidak lepas dari kesungguhan pengelola satuan pendidikan. Guru sebagai pendidik harus pedagogis, profesional, berkepribadian, bersosial, dan pelopor perubahan siswa ke arah yang lebih baik. ''Jadi, tidak ada alasan bagi calon peserta didik untuk menghindari masuk madrasah. Bahkan seharusnya bangga bisa belajar di madrasah.'' (H11-)
SEMARANG- Di alam demokrasi saat ini, kesempatan anak baik perempuan maupun laki-laki untuk mengenyam pendidikan hampir sama besarnya. Namun dalam memilih jurusan, misalnya yang dari SMP ke SMK atau ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, keputusan masih didominasi atas dasar ''kenyamanan'' dan ''kepantasan''. Misalnya, seorang murid perempuan yang ingin melanjutkan ke SMK, akan merasa lebih nyaman jika belajar di sekolah yang punya jurusan ''feminin'' seperti tata boga, tata busana, dan sejenisnya. Begitu pula dengan murid laki-laki yang kebanyakan memilih jurusan ''maskulin'' seperti teknik mesin, sipil, dan sebagainya. ''
Hal seperti itu sebenarnya tidak masalah asalkan memang karena pilihan (kata hati), bukan terpaksa. Karena itulah sejak dini, wawasan gender peserta didik harus dibuka. Ujung tombaknya selain guru adalah kepala sekolah dan komite.'' Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Pusat Studi Gender (PSG) IAIN Walisongo Dra Jauharotul Farida MA.
Lebih lanjut Farida memaparkan, siswa yang berani keluar dari ''norma'' tersebut, anggapan normal atau tidaknya berbeda pada tiap individu atau kelompok masyarakat. Masyarakat banyak juga yang open minded, imbuhnya, namun belum tentu bisa melaksanakannya. Lingkungan juga ikut memengaruhi. ''Tentu ada perbedaan cara padang antara desa yang kontrol masyarakatnya masih kuat dan kota yang longgar.''
Hal-hal lain yang berperan adalah faktor budaya dan agama. Namun demikian, ungkap Farida, harus diakui bahwa jumlah wanita yang berkarya di bidang berbau ''maskulin'' lebih sedikit daripada pria yang terjun di bidang ''feminin.'' Misalnya, jumlah perempuan yang menekuni bidang perbengkelan jauh lebih sedikit daripada pria yang berprofesi sebagai koki. ''Perjalanan kita untuk membuka wawasan gender masyarakat masih panjang.'' PSG IAIN Walisongo sendiri, tutur Farida, telah melakukan sosialisasi wawasan gender di berbagai sekolah dan madrasah.
Yang harus ditanamkan sejak dini pada para siswa adalah, tandas dia, bahwa secara kodrat perempuan dan lelaki itu berbeda, begitu juga kebutuhannya. ''Kodrat bukan pilihan dan tidak ada hubungannya dengan kemampuan.'' Ia mencontohkan seorang pekerja wanita yang mendapatkan cuti menstruasi dan hamil, sedangkan pria tidak. Keadaan tersebut, ujar dia, jangan dijadikan dalil bahwa pekerja wanita tidak produktif. Namun demikian, Farida juga mengecam keras perempuan yang menggunakan kodratnya sebagai alat untuk mendapatkan dispensasi yang tidak sesuai peruntukannya. ''Kecengengan seperti itu tidak bisa ditolelir.'' (H11-)
SEMARANG- Tidak dimungkiri bahwa salah satu kekuatan radio dalam menarik perhatian pendengarnya adalah suara si penyiar yang enak. Namun ternyata, memiliki suara emas bukan semata modal utama untuk bisa menjadi penyiar yang baik. Hal itu diungkapkan Parma Andhika Puspita Dewi yang sudah bekerja belasan tahun berprofesi sebagai penyiar radio dan saat ini bekerja di Radio Elshinta pada Seminar Menjadi Penyiar Radio Profesional di Perpustakaan FISIP (19/6).
''Seorang penyiar yang baik juga harus memiliki wawasan yang luas, pengetahuan musik dan sense of humor yang baik.'' Suara yang bagus sekalipun, tandasnya, akan menjadi tidak enak jika si pemilik suara selalu mengucapkan kata yang sama berulang-ulang seperti ''ok'', ''yang pasti'', ''pastinya''. Kebiasaan buruk itu, imbuhnya, harus dihilangkan. Dan itu bisa dihilangkan dengan menambah wawasan. Pasalnya kelancaran berbicara tergantung dari wawasan penyiar.
Pada acara yang diprakarsai oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Undip itu, Parma juga menjelaskan bahwa sebuah program radio harus memiliki daya tarik bagi pendengarnya dan juga pemasang iklan. ''Keduanya harus dibatkan.''
Pembicara lain yakni Shinta Ardhany (co-responder CVC Australia) berkesempatan memberikan penilaian kepada para peserta yang menjajak kemampuannya menjadi penyiar di acara tersebut. Yang bersangkutan memberikan tips bagaimana mengatur intonasi, artikulasi, penekanan, jeda, dan sebagainya. Shinta juga mengingatkan bahwa untuk menjadi seorang penyiar harus memiliki kemampuan bicara yang bagus, penampilan menarik, sajian kata-kata yang berkualitas, dan menguasai medan. ''Yang jelas, harus berkemauan keras untuk terus berlatih dan praktik.'' (H11-)
SEMARANG- Hampir bisa dipastikan, yang ada di pikiran kebanyakan mahasiswa setelah lulus dari perguruan tinggi adalah melamar pekerjaan. Entah itu di instansi pemerintah atau swasta. Anak-anak kecilpun jika ditanya apa cita-citanya kelak, jarang ada yang menjawab ingin punya usaha sendiri. ''Daripada mencari pekerjaan, lebih bermartabat kalau kita membuka lapangan kerja dan bisa memberi nafkah pada orang lain.'' Hal itu diungkapkan Ketua Perbanas Drs Sigit Pramono MBA saat menjadi keynote speaker Seminar Nasional ''Pentingnya Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Sejak Dini'' dalam rangka Lustrum II Fakultas Psikologi USM di Jl Soekarno-Hatta (26/5).
Sigit yang juga Ketua BP Yayasan Alumni Undip itu mengimbau pada para peserta yang sebagian besar adalah mahasiswa untuk tidak mencari kerja setelah lulus, namun berwirausaha. Lantas, apa sebenarnya faktor penghambat seseorang untuk memulai berwirausaha. Menurut Sigit, faktor kultur juga sedikit banyak mempengaruhi. Dijelaskannya, bagi sebagian masyarakat Jawa, terutama di daerah agraris, strata sosial para pedagang rendah. Anak-anak jika disuruh berdagang, tandasnya, banyak yang gengsi. ''Dan, kalau ada yang kaya, pasti dituduh memelihara tuyul. Padahal dia kaya karena usaha dan kerja kerasnya.'' Orang Jawa, kata dia, lebih senang menjadi PNS.
Padahal, imbuh Sigit, wirausahawan terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian dalam situasi apapun. Termasuk pada saat krisis seperti saat ini. ''Mereka mampu menciptakan lapangan kerja baru sehingga membantu pemerintah mengurangi pengangguran.'' Jiwa kewirausahaan, kata dia, terbukti mampu mendorong dihasilkannya berbagai produk dan jasa, memacu kreativitas dan inovasi. Seorang wirausahawan harus memiliki ambisi, mimpi, unik, mampu mengambil resiko, innovator, kreatif, gigih, dan optimistis. Lantas bagaimana kalau kita sudah berusaha namun gagal terus? ''Yakinlah bahwa Tuhan Maha Memberi. Tidak mungkin gagal terus, pasti suatu saat akan sukses.''
Menurut sigit, pengenalan wirausaha harus dimulai sejak dini. Setidaknya saat menjadi mahasiswa, yang bersangkutan harus mulai in action.
Hal senada diungkapkan pembicara lain, Managing Direktor Suara Merdeka Group, Kukrit Suryo Wicaksono MBA. Ia bahkan mengusulkan sejak SMA, para siswa dibekali dengan buku saku wirausaha dan diberikan pelatihan. Pelaku wirausaha, tandasnya, bisa berasal dari latar belakang pendidikan apapun. Kukrit mengakui, ilmu yang didapatnya sehingga menjadi wirausahawan seperti saat ini sebagian besar karena learning by doing. Karena itulah ia mendorong para mahasiwa untuk tidak berputus asa dalam berkreasi dan berinovasi. Pada kesempatan itu, Kukrit yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Luar Negeri dan Perdagangan Kadin Jateng menjelaskan bahwa Kadin siap menjadi media bagi para wirausahawan yang ingin memasarkan produk unggulan Jateng di kancah internasional. ''Kami tentu saja akan menyeleksi terlebih dahulu apakah produk tersebut layak dipasarkan atau tidak.'' Bagi yang lolos, ungkap Kukrit, akan diikutkan dalam pameran di Singapura, bulan depan.
Pembicara lain, Manajer HRD Coca-Cola Bottling Semarang Listyanto Purnawan berpendapat, setiap orang sebenarnya memiliki jiwa wirausaha. Diakuinya, untuk memulai, banyak yang masih tidak percaya diri. ''Jangan belum apa-apa sudah bilang tidak bisa. Jadikan kelemahan Anda sebagai kesempatan untuk meningkatkan potensi.'' Hal lain yang ia tekankan adalah pentingnya seorang wirausahawan memiliki jiwa kepemimpinan, dan begitupula sebaliknya. (H11-)
SEMARANG- Salah satu hal yang harus dilakukan sebuah bangsa jika ingin kaya adalah beternak dan bertani. Yang jelas dengan berternak, kualitas hidup akan meningkat lebih baik. ''Untuk menuju kehidupan yang lebih baik, beternak harus jadi primadona.'' Hal itu diungkapkan Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med Sp And saat membuka Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan ''Pemberdayaan Masyarakat melalui Usaha Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan'' di Gedung Pascasarjana Undip Jl Imam Bardjo (20/5).
Dikatakannya, hidupnya sektor perternakan, otomatis akan menghidupkan perekonomian di sektor-sektor lain, misalnya kuliner.
Rektor optimistis jika sektor peternakan bangkit, tidak hanya perekonomian yang meningkat namun juga kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itulah pada acara yang diprakarsai oleh Prodi Magister Ilmu Ternak , Fakultas Peternakan (FPt) Undip itu, Rektor mendorong semua elemen untuk memajukan sektor peternakan.
Dekan FPt Undip Dr Ir Joelal Achmadi MSc mengungkapkan, saat ini jurnal ilmiah peternakan yang dihasilkan para peneliti dan dosen di Indonesia untuk terbitan skala nasional dan internasional masih minim. ''Di tingkat Asia saja, kurang dari 10 jurnal ilmiah peternakan yang diterbitkan dalam setahun. Kita tertinggal dari Malaysia dan Filipina.'' Oleh karena itulah Dekan berharap dalam kesempatan tersebut, harus dilakukan evaluasi terkait penerbitan jurnal ilmiah peternakan. Digelarnya acara tersebut, imbuhnya, juga dimaksudkan sebagai acara diskusi hasil penelitian dan komunikasi diantara para dosen dan peneliti. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan kualitas diri. ''Dan juga sharing tentang kemajuan dan pengembangan sektor peternakan.''
Ketua panitia pelaksana seminar Dr Ir Luthfi D Mahfudz MSc menjelaskan, pada 2035, penduduk Indonesia diprediksi mencapai 400 juta jiwa. ''Ini memberikan tantangan, sekaligus peluang untuk penyediaan bahan pangan, khususnya yang berasal dari protein hewani.'' Maka dari itu, ujar dia, perlu dipersiapkan tenaga yang andal melalui pendidikan lanjut di bidang peternakan.''
Dijelaskannya, pada seminar itu terdapat 5 makalah utama dan 8 makalah penunjang, serta 100 makalah pendukung. Para penulis adalah peneliti dari berbagai universitas, perusahaan, institusi pemerintah di Indonesia. Maka diharapkan mereka dapat menyumbangkan pemikirannya dalam rangka pembangunan pendidikan dan industri peternakan yang tangguh, dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional berkelanjutan.
Para peneliti, secara umum memaparkan pemikirannya tentang penyediaan SDM andal untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional berkelanjutan, peluang dan tantangan industri perunggasan, peranan sub sektor peternakan berbasis ternak lokal, serta pemanfaatan sumber daya pakan lokal terbarui. Di samping itu juga dibahas tentang pengolahan hasil ternak, misalnya penggunaan asap cair sebagai bahan pengikat pada pembuatan bakso daging sapi bali atau pemanfaatan tepung buah sukun sebagai filler dalam pembuatan bakso ayam. (H11-)
SEMARANG- Kemajemukan merupakan poin istimewa Indonesia. Kemajemukan Indonesia berbeda dari negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, bahkan AS. ''Keindonesiaan kita, terlihat dari kemajemukan itu dan hal tersebut mengkristal dalam satu kekuatan. '' Hal tersebut diungkapkan Rektor Unnes Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo MSi di sela-sela Seminar Internasional ''Integrasi Sosial dalam Negara Bermasyarakat Majemuk pada Era Global'' di Hotel Patra Jasa (20/5). Untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, sambung Rektor, dibingkai dalam Pancasila dan UUD 1945. ''Kalau ini diabaikan, tentu akan tercerai berai.'' Karena itulah ujar Rektor, konstitusi harus kuat. Sudijono lantas menyoroti berkali-kalinya UUD 1945 diamandemen.
Lantas bagaimana dengan keinginan sebagian anak bangsa yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Menurut Rektor, ini adalah tugas para tokoh dan pemimpin bisa untuk bisa merangkul semua pihak. ''Ibaratnya, kita duduk di sebuah meja dengan beberapa orang, namun orang-orang di meja itu tidak kita tegur, tidak kita tawari makan atau minum, tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan.'' Lantas, apakah perlu penataran P4 seperti zaman Orba, dilaksanakan kembali? ''Apapun bentuknya, yang jelas semua masyarakat harus mendapatkan sosialisasi agar dapat memahami Pancasila dan UUD 1945.''
Pada kegiatan yang diprakarsai oleh Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Unnes itu, Dekan FIS Unnes Drs Subagyo MPd menjelaskan bahwa tujuan kegiatan adalah memberikan gambaran tentang peta konflik di Asia Afrika, pengaruh globalisasi terhadap meningkatnya intensitas konflik etnik, sosial, ekonomi, dan politik dalam rangka memperkokoh kohesi sosial masyarakat majemuk.
Pembicara seminar yakni dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UGM Drs Dafri Agussalim MA menjelaskan, Jika negara lalai/gagal dalam mengatur kehidupan warganya yang multikultural dapat berakibat konflik yang tajam. Dan bahkan dapat berkembang menjadi konflik dengan kekerasan yang menelan korban harta,nyawa, bahkan eksistensi negara tersebut. ''Ini dialami oleh banyak negara di dunia seperti Malaysia, Indonesia, India, Filipina, bahkan di AS, Australia, dan beberapa negara di Eropa Barat.''
Hal itu terjadi, menurut dia, karena nasionalisme yang sempit atau bahkan fasisme, sikap dan pandangan etnosentrik yang terlalu kuat, penafsiran yang keliru tentang ajaran/nilai tertentu. Atau, sambungnya, praduga buruk pada etnis tertentu serta bagian dari struggle for life (ekonomi, sosial, dan politik).
Untuk mengatasi hal itu, imbuh dia, perlu penegakan hukum yang konsisten, fair, nondiskriminatif, dan transparan. Sistem pendidikan yang sejak awal bermuatan multikulturalisme, baik dalam kurikulum, proses rekrutmen murid, tempat dan suasana. Hal yang tak kalah pentingnya adalah menerapkan sistem yang demokratis dalam mekanisme politik dan kebijakan publik.''Sehingga semua warga punya akses yang sama ke sumber kekuasaan tanpa diskriminasi. Dan yang tak kalah pentingnya adalah penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM.''
Pembicara lain, dosen tamu FISIP UI dari India yakni Dr Reshmi Banerjee memaparkan pengaruh globalisasi di India. Di negara itu, kata dia, parlemen diharapkan menjadi pemain kunci dalam penyusunan kebijakan pertanian dan anggaran belanja. Kapasitas komite parlemen harus diperkuat untuk mendukung pertanian, pembangunan pedesaan dan keuangan. Biaya dan keuntungan dari perdagangan bebas harus dibagi rata. ''Yang jelas, perdagangan harus adil dan di sini, peran parlemen menjadi krusial.'' (H11-)