eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

9-7-08
PAGI itu halaman SMAN 5 terlihat penuh sesak oleh ratusan orang tua calon siswa. Mereka menunggu pengumuman PPD sejak pukul 09.00. Meski pengumuman PPD baru dipasang pukul 11.00. Tak berselang setelah tiga orang panitia memasang tiga lembar pengumuman, sontak mereka yang semula berkerumun tempat parkir menyerbu, berebut melihat pengumuman.
Harini (44) warga Ronggowarsito langsung berteriak histeris, tatkala melihat nama anaknya Jani Sarwestri terpampang dalam urutan nama yang diterima dalam PPD sekolah itu. Berusaha keluar dari kerumunan, ia menghampiri anaknya, memeluk hingga tak kuasa menahan harunya. Tak berapa lama ia pun sujud syukur, sambil beberapa kali mengucapkan doa.
"Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih nak, kamu sudah membantu ibu,"ucapnya. Yah, luapan kegembiraan Harini memang beralasan. Pasalnya dengan sistem PPD saat ini yang memperbolehkan adanya jalur khusus dengan membayar sejumlah uang sumbangan membuat orang tua kalangan menengah bawah seperti dia yang tidak mungkin menggunakan jalur tersebut merasa ketar-ketir. Namun, ia hanya pasrah dan bermodal doa. "Saya hanya pasrah dan berdoa. Jani kerap juga berpuasa dan salat tahajud. Modal kami hanya itu karena saya tidak mungkin lewat jalur khusus yang bermodalkan uang banyak. Meski sempat khawatir tidak diterima.''
Bagi Jani, masuk menjadi siswa SMA 5 adalah cita-citanya sejak kelas 6 SD. Lulusan SMP 6 itu sempat khawatir kalau-kalau dengan nilai UN 33,30 tidak bisa masuk diterima di sekolah itu. Namun, kekhawatiran itu sirna tatkala namanya terpampang di papan pengumuman.
Tak semua mempunyai kebahagian seperti Harini dan putrinya Jani. Pradipta (16) yang berasal dari SMP 7 hanya bisa tertunduk kecewa tatkala namanya tidak masuk dalam daftar nama-nama calon siswa yang diterima. Namun, warga Barusari itu menyadarai karena nilai UN 28,70 memang belum bisa diterima di sekolah favorit tersebut. "Hari ini saya akan cabut berkas, dan berharap pada pilihan kedua di SMA 14. Semoga di sana saya diterima," katanya berusaha berbesar hati.
Suratno, ketua tim PPD SMA 5 mengatakan tahun ajaran ini sekolah itu berdaya tampung 360 siswa yang terdiri atas 308 siswa dari jalur reguler, 36 siswa jalur khusus dan sisanya 16 siswa adalah anak guru, karyawan dan lingkungan sekitar sekolah yang langsung diterima.
"Adapun untuk seleksi jalur reguler PPD SMA 5 berdasar nilai UN terendah 31,95. Dan nilai UN tertinggi 38,20.''
Leli, ibu dari Widha Widuri tidak bisa menutupi rasa bahagianya ketika mengetahui anaknya diterima di SMAN 4. Ia mengaku sudah was-was anaknya tidak diterima di sekolah itu karena nilainya mepet yakni 30,25. Adapun nilai terendah yang diterima di sekolah itu adalah 29,97. Widuri menduduki peringkat 335 dari 350. ''Tiap hari saya ke sini lihat jurnal dengan hati deg-degan.'' Widuri memang patut berbangga, selain diterima di sekolah idamannya, dari sekolah asalnya yakni SMPN 26, hanya 2 orang yang diterima di sekolah itu.
Terkait SPI yang biasanya dimintakan kepada orangtua murid, Leli yang bertempat tinggal di Gedawang itu menjelaskan walau dirinya berasal dari kalangan tidak mampu namun ia bersedia membayar sumbangan. ''Saya sadar bahwa sekolah butuh biaya. Saya tidak minta digratiskan, namun saya akan membayar semampu saya,'' kata pemegang kartu Askin dan BLT itu.
Joni Karjono yang cucunya tidak diterima di SMAN 5 mengaku bahwa jalur khusus adalah penyebab mengapa cucunya tidak diterima. Jalur tersebut dinilainya mengurangi jatah siswa reguler. ''Coba kalau tidak ada jalur khusus, tentu cucu saya sudah diterima. Wong nilainya hanya selisih sedikit dengan nilai terendah yang diterima di sekolah itu. Padahal yang masuk jalur khusus, nilanya banyak yang di bawah cucu saya, hanya karena mereka berani bayar mahal, lantas diterima.'' Adapun nilai terendah yang diterima di SMAN 5 adalah 31,95 sedangkan nilai cucu Joni adalah 29,60. Ia masih berharap cucunya berada di daftar cadangan sehingga jika ada yang mengundurkan diri di sekolah itu, yang bersangkutan bisa diterima. Kepada Suara Merdeka, ia mengaku belum terpikir mendaftarkan cucunya di sekolah swasta. Joni beranggapan bahwa sekolah negeri lebih murah dari swasta. (Maulana M Fahmi, Ida N )

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe