eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

16-07-08

SEMARANG - Aksi cabut berkas dari sekolah swasta ke sekolah negeri, sebaiknya menjadi bahan evaluasi dan intropeksi bagi sekolah swasta (SM/16/7). ''Ini menunjukkan karisma sekolah swasta masih kalah dengan negeri.'' Hal tersebut diungkapkan Direktur
Centre for Education Studies (CES) Jawa Tengah Hery Nugroho. Itu terjadi, katanya, karena persepsi masyarakat Indonesia --khususnya masyarakat Kota Semarang-- sekarang ini, masih menganggap sekolah negeri sebagai primadona. Masyarakat, imbuhnya, masih mempersepsikan sekolah swasta mahal dan tidak berkualitas sehingga ada perasaan gengsi kalau bersekolah di sekolah swasta. Adapun sekolah negeri, sambungnya, dipersepsikan masyarakat sebagai sekolah yang biayanya lebih murah dan berkualitas. ''Akhirnya yang terjadi adalah sekolah negeri menjadi pilihan pertama, kalau tidak diterima di negeri baru ke swasta.''
Second Class
Akhirnya yang terjadi sekolah swasta menjadisecond class(kelas kedua) setelah tidak diterima di negeri, bahkan ketika ada kesempatan, --ada yang tidak daftar ulang--, ungkapnya, murid rela mencabut berkas di sekolah swastanya. Padahal kalau melihat fakta di lapangan, tandasnya, tidak semua sekolah negeri bagus. Diakuinya, memang banyak sekolah negeri yang bagus dan hal itu digeneralisir masyarakat bahwa semua sekolah negeri bagus. ''Padahal ada juga sekolah swasta yang menggungguli sekolah negeri. Bahkan nilai tertinggi Ujian Nasional (UN) 2008 SMP Negeri dan Swasta se-Kota Semarang diraih sekolah swasta.'' Ia mencontohkan Sekolah Semesta Semarang yang seringkali menjuarai olimpiade baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sekolah Swasta Jadi Unggulan di Luar Negeri
Hery lantas menuturkan pengalamannya di Chicago AS dan di negara-negara maju lain di mana sekolah swasta menjadi unggulan dibandingkan dengan sekolah negeri. Masyarakat lebih bangga ketika anaknya sekolah di swasta, karena sekolah negeri dinilai tidak banyak improvisasi dan kurang inovatif. Di sana, kualitas menjadi perhatian sekolah swasta sehingga menjadi primadona, meskipun sekolah negeri digratiskan.
''Masyarakat di sana tidak mempersoalkan mahalnya biaya pendidikan karena yang menjadi pertimbangan adalah kualitas.'' Namun, ungkapnya, masyarakat di Indonesia tidak sama dengan masyarakat AS dan negara-negara maju lain kendati ada juga sebagian masyarakat Indonesia yang memilih sekolah tidak berdasarkan swasta atau negeri, tetapi lebih kepada kualitas sekolah dan hasil lulusannya. ''Buktinya, ada orang tua yang berani membayar mahal memasukkan anaknya ke sekolah swasta. Dipilihnya sekolah negeri karena memang kebanyakan tingkat perekonomian masyarakat Indonesia sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah.''
Sekolah Swasta Harus Berinovasi
Oleh karena itulah, tandas dia, sekolah swasta harus bisa menghilangkan persepsi masyarakat bahwa sekolah swasta menjadi pilihan kedua. ''Sekolah swasta harus selalu berinovasi dan berimprovisasi guna kemajuan sekolahnya dan persepsi mahal dan tidak berkualitas harus dihilangkan.'' Hery meminta agar pemerintah juga harus memberikan perhatian dalam peningkatan sekolah swasta. Diakuinya, untuk menghilangkan persepsi tersebut sehingga masyarakat benar-benar percaya terhadap kualitas sekolah swasta butuh waktu yang lama. ''Kalau masyarakat yakin dan percaya terhadap sekolah swasta, maka orang tua dan siswa akan lebih senang bersekolah di sana.''
Jadi, kata dia, permasalahan aksi pencabutan berkas siswa dari sekolah swasta ke sekolah negeri, tidak serta merta kesalahan sekolah negeri. Karena dalam petunjuk teknis penerimaan peserta didik (PPD) tidak mengatur hal itu. Yang ada, dalam pasal 31 bahwa peserta didik yang dinyatakan diterima tetapi tidak melakukan daftar ulang sesuai waktu yang ditetapkan dianggap mengundurkan diri. ''Memang belum ada juknis yang mengatur, bagaimana jika ada peserta didik yang diterima tetapi tidak daftar ulang. Bisa saja karena orang tuanya pindah ke luar kota atau anaknya kurang sreg dengan sekolah itu.''
Karenanya ke depan, perlu ada aturan bagaimana kalau ada peserta didik yang diterima dan tidak didaftar ulang. Apakah bisa digantikan siswa yang mempunyai nilai di bawahnya atau tidak. Kalau ada aturan yang jelas, tutur Hery, maka tidak ada lagi ketegangan antara sekolah swasta dan negeri. Kecuali kalau ada sekolah yang jelas melanggar dari ketentuan dari juknis, misalnya kuota maksimal per kelas yang harusnya 40 siswa, tiba-tiba ditambah menjadi 45. ''Kalau itu yang terjadi, maka sekolah harus dikenai sanksi.''
Harus Punya Nilai Plus
Terpisah, pakar pendidikan Unnes Saratri Wilonoyudho juga berpendapat bahwa tidak bijaksana jika hanya menimpakan kesalahan pada sekolah negeri atas aksi pencabutan berkas tersebut. ''Keberadaan sekolah swasta kan untuk membantu pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan jadi visi misinya juga harus jelas. Kalau sekolahnya bagus, pasti juga diminati oleh masyarakat.''
Sebelum memutuskan mendirikan sekolah swasta, tandasnya, harus dilakukan riset yang mendalam dan perhitungan yang matang terkait jumlah sekolah yang sudah ada, daya tampung, dan anak usia sekolah. ''Kalau memang ingin diterima di masyarakat, sekolah swasta harus punya nilai plus/khusus yang tidak dijumpai di sekolah negeri.'' (H11-)

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe