eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

2-7-08


SEMARANG Jalur khusus dalam PPD SMP/SMA di Semarang tidak hanya mendapat sorotan pemerhati pendidikan Kota ATLAS namun juga kab/kota lain di Jateng. Seperti diketahui, sorotan tersebut terkait sumbangan ratusan juta rupiah yang berhasil dihimpun sekolah favorit dari para calon orangtua siswa. ''Yang terjadi di Semarang, jangan sampai berimbas ke kab/kota lain di Jateng.'' Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Jateng Kunto Nugroho HP, saat menjadi pembicara pada Sarasehan Dewan Pendidikan Prov Jateng Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2008/2009 di Hotel Muria (2/7).
Pada acara yang dihadiri oleh pejabat dinas pendidikan dari seluruh kab/kota di Jateng itu, Kunto mengatakan institusinya tidak bisa berbuat banyak terkait kebijakan jalur khusus yang ditetapkan Dinas Pendidikan Kota Semarang karena Dinas Pendidikan Provinsi tidak berkewenangan memasuki wilayah operasional mengingat hanya bertindak sebagai fasilitator. Namun demikian ia mengimbau agar jalur tersebut tetap mengindahkan asas kepatutan. ''Yang jelas, tidak boleh ada sekolah yang menolak anak dari keluarga miskin.''
Pembicara lain Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Sri Santoso mengatakan, karateristik Semarang berbeda dari kab/kota lain. Semarang adalah Ibu Kota provinsi di mana di kota ini, pusatnya para birokrat, seniman, politisi, dan lain sebagainya. Tiap PPD, imbuhnya, Dinas Pendidikan Kota menerima banyak sekali surat yang meminta rekomendasi agar anak-anak mereka diterima di sekolah tertentu. ''Kami sebenarnya ingin melangkah ke tahap yang lebih baik dan berharap tidak jebol. Hal seperti ini jangan ditiru daerah lain. Karena memang keadaan Semarang lebih kompleks, berbeda dari kab/kota lain.'' Sampai saat ini, ujarnya, belum diputuskan akan disalurkan ke mana uang sumbangan dari jalur khusus, apakah ke kas daerah (kasda) atau pos lain.
Usai sarasehan, Sri menjelaskan, jalur khusus itu sebenarnya diperuntukkan bagi siswa yang orangtuanya kurang mampu, berdominasi di lingkungan sekolah, dan pertimbangan lain adalah orangtua yang bisa memberikan kontribusi tidak selalu materi, namun juga pemikiran. Lantas bagaimana dengan ketidaksetujuan banyak pihak terkait besaran nominal sumbangan yang memainkan peranan penting diterima atau tidaknya siswa? Menurut Sri, hal itu tidak bisa dihindari mengingat selain nilai UASBN/UN, kontribusi sumbangan juga termasuk dalam scoring. Sri mengaku sumbangan fantastis yang mampu dibayarkan para orangtua calon siswa, di luar perkiraannya. ''Kami sebenarnya juga sedih.'' Ia menambahkan pihaknya menerima semua masukan dan kritik terkait jalur khusus dan akan digunakan sebagai bahan evaluasi. Apakah jalur khusus untuk tahun ajaran 2009/2009 tetap dilaksanakan? ''Itu juga merupakan item yang akan dibahas dalam evaluasi mendatang,'' imbuhnya.
Sementara itu, pembicara lain Sekertaris Dewan Pendidikan Jateng Prof Dr Ahmad Rofiq meminta agar jalur khusus dalam PPD dihapuskan. Kalaupun masih ada, tandasnya harus memperhatikan azas kepatutan dan kompetisi yang fair. Potensi akademik, tandasnya harus memainkan peran yang lebih penting saat memutuskan menerima atau menolak siswa ketimbang sumbangan. Menurutnya, adanya jalur semacam itu akan berimbas kepada kualitas mental anak didik. Anak, katanya, tidak lagi menganggap penting keunggulan kompetitif. Pasalnya tanpa berkompetisi, ia tetap bisa masuk sekolah favorit hanya karena orangtuanya mampu membayar uang sumbangan dengan tinggi. Ia juga mempertanyakan bagaimana sikap sekolah jika siswa yang masuk lewat jalur khusus itu nanti prestasinya buruk.
Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Ragil Wiratno mengeluarkan rekomendasi agar anggaran 20% untuk pendidikan dari APBD provinsi dan kab/kota harus diwujudkan sehingga tidak ada masalah lagi dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Komite sekolah negeri, tandasnya, harus diarahkan dapat mencari dana dari pihak ketiga sehingga tidak lagi membebani orangtua siswa. ''Komite sekolah swasta saja bisa kok,masak komite sekolah negeri tidak bisa. Kalau ada komite sekolah yang minta honor, ya aneh.''
Dalam pelaksanaan PPD, imbuh dia, mencari dana dalam bentuk jalur khusus adalah tidak benar. Pengelolaan pendidikan, kata dia, memang harus memiliki manajemen yang menguntungkan namun jangan sampai menghilangkan fungsi sosial dan nilai kepatutan.
Pelanggaran
Terpisah, KAMMI Daerah Semarang menilai, implementasi jalur khusus terindikasi melanggar dua peraturan perundang-undangan, yaitu PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan. Dikatakannya, seharusnya sumbangan jalur khusus PPD dimasukkan dalam kategori keuangan daerah.
Dalam rilis yang diterima Suara Merdeka, KAMMI menyebut, SMP dan SMA menjalankan PPD dalam rangka menjalankan fungsi negara dalam sektor pendidikan, sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah. Selain itu, kepala sekolah menjalankan PPD berdasarkan kewenangannya sebagai salah seorang pejabat di lingkungan Kota Semarang di bidang pendidikan.
Terkait itu, KAMMI mendesak Wali Kota, agar membatalkan jalur khusus PPD 2008. Selanjutnya, seluruh dana yang diterima dari jalur khusus diminta dikembalikan.
Sementara itu, LSM Government Policy Watch (GPW) menilai jalur khusus PPD di Semarang bertentangan dengan UUD 1945. Karena itulah lembaga itu menyurati Menteri Pendidikan Nasional meminta agar membatalkan jalur itu dan mengintruksikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang agar dana yang sudah terlanjur disetorkan orang tua murid dikembalikan. Hal itu dikemukakan Direktur LSM GPW Syamsoer Kono SH kepada Suara Merdeka, di kantor Biro Kota, kemarin. Dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan, dia menyebutkan penerimaan peserta didik melalui jalur khusus bertentangan dengan pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UUD 1945 dan pasal 5 ayat (1), pasal 49 ayat (2) UU No.20 Tahun 2003, tentang Sidiknas. Dengan dibukanya jalur khusus dinilainya sangat tidak mendidik, merugikan masyarakat, dan menimbulkan ketidakadilan.
''Kami menduga dengan sistem jalur khusus, dijadikan ajang bisnis dengan membebani orangtua murid. Sebab, besaran sumbangan sesuai dengan kemampuan orang tua murid, mulai Rp 5 juta hingga Rp 20 juta.'' Ia menambahkan, alasan Pemkot membuka jalur khusus agar siswa yang mampu memberikan subsidi kepada yang tidak mampu, sangat tidak beralasan. Padahal, mengenai dana pendidikan itu sudah diatur secara jelas dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU No.20 Tahun 2003.
Seyogyanya, kata dia, peran serta masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap pendidikan dilakukan dengan kesadaran, kemauan dan keikhlasan sendiri tanpa ada ikatan apapun. Sementara jalur khusus untuk sekolah tertentu sudah diberi batasan minimum Rp 10 juta, berarti bukan sumbangan lagi. ''Jalur khusus ditengarai menjadi ajang persaingan orangtua murid memberikan besaran sumbangan, sehingga terjadi kompetisi yang tidak sehat. Diduga bagi yang memberikan sumbangan besar akan diterima, sementara yang memberi sumbangan kecil tidak diterima, walaupun anak yang bersangkutan mempunyai potensi yang tinggi.'' (H11, H9,H3- )

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe