eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

5:20 PM

Mengurai Keruwetan Pendidikan di Indonesia

Posted by Eeda |

Biasanya saya hanya menulis berita dengan catatan tidak boleh menyisipkan opini pribadi. Field of reporting saya adalah masalah pendidikan. Dan kali ini saya mencoba mengutarakan uneg-uneg saya atas temuan-temuan di lapangan, begitu juga hasil wawancara dengan sejumlah pihak. Bertemu dengan banyak orang dari masyarakat biasa, pejabat sampai pakar, telah membukakan mata saya betapa ruwetnya problematika pendidikan di Indonesia.Para petinggi negeri ini walau kelihatannya menaruh perhatian pada pendidikan dengan dianggarkannya 20% dari APBN/D untuk pendidikan, namun sampai sekarang keadaan pendidikan belum bisa dikatakan memuaskan. Menurut saya, permasalahan tidak serta merta selesai hanya dengan menaikkan anggaran.

Uang banyak kalau tidak bisa memanage juga akan percuma. Apasih sebenarnya outcome dari pendidikan? menciptakan sarjana sebanyak-banyaknya ? Tentu saja tidak. Yang jelas, pendidikan tak akan ada artinya jika tidak bisa mengurangi pengangguran. Imbauan pemerintah bagi anak bangsa untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, sayangnya tidak dibarengi dengan ketersediaan lapangan kerja.
Saya sangat setuju dengan pendapat salah satu pakar pendidikan di Semarang yang mengatakan bahwa seharusnya Depdiknas berkoordinasi dengan departemen-departemen lain, untuk mengatasi masalah tersebut. Logikanya, jika ada komunikasi yang apik antar mereka, maka akan terpetakan tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan Indonesia 5,10, atau 20 mendatang.
Dengan begitu, sekolah dan perguruan tinggi dapat mempersiapkan siswa/mahasiswanya untuk mengisi posisi tersebut dan tidak perlu lagi merekrut tenaga asing yang katanya lebih qualified.
Dan jika itu juga sudah diplanning dan terpetakan maka lebih menghemat tenaga perguruan-perguruan tinggi dalam membuka program studi. Mudah-mudahan tidak akan ada lagi perguruan tinggi yang tutup warung karena kurang peminat.
Saya setuju dengan program pemerintah untuk memperbanyak rasio SMK dan SMK menjadi 60:40 atau 70:30. Lulusan SMK yang secara skill lebih terlatih daripada lulusan SMA diharapkan dapat langsung cepat memeroleh pekerjaan. Namun ya itu, pemerintah juga harus sembodo menyiapkan lapangan pekerjaanya.
Namun tidak bijaksana juga jika lulusan sekolah/PT hanya disiapkan untuk menjadi pegawai. Di lembaga pendidikan juga harus diajarkan mengenai kewirausahaan dan life skill supaya mereka juga bisa survive di dunia nyata. Singkatnya kedua hal itu harus diajarkan sejak dini, dari SD atau bahkan mungkin TK. Karena itulah ada baiknya Depdiknas menjadi fasilitator antara lembaga pendidikan dan bank untuk bisa menyediakan pinjaman lunak sebagai modal usaha.
Apa yang saya tulis ini masih berupa general analysist. Masih banyak sebenarnya uneg-uneg saya terkait keruwetan pendidikan di Indonesia. Dari UN, PPD, sampai metode pembelajaran.

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe