eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

SEMARANG- Ketahanan pangan erat kaitannya dengan ketahanan nasional. Jika ketahanan pangan ambruk, otomatis ketahanan nasional juga hancur. Pasalnya, ketersediaan pangan berimplikasi pada keberlanjutan kehidupan manusia. Dan pengadaan pangan
tentu saja berkaitan erat dengan petani. ''Jika tidak ada lagi yang mau jadi petani, lantas bagaimana dengan kelangsungan kehidupan kita.'' Hal itu diungkapkan guru besar ilmu ekonomi pertanian Fakultas Ekonomi Undip yang akan dikukuhkan Oktober mendatang Prof Dr Waridin.
Karena itulah ia menyayangkan banyak anak muda sekarang yang tidak mau terjun ke bidang pertanian. ''Barangkali mereka beranggapan bekerja sebagai petani itu tidak keren. Nyatanya peminat jurusan pertanian, perikanan, dan sejenisnya di perguruan-perguruan tinggi turun. Bahkan ada di salah satu perguruan tinggi yang jumlah peminatnya jauh di bawah kuota.''

Menurut dia, saat ini aplikasi penggarapan sektor pertanian masih belum all out. Di banyak tempat, belum ada kesinambungan antara produksi, distribusi, dan konsumsi. Karena itulah ia menekankan pentingnya pembangunan jalan di pedesaan. ''Kalau akses ke desa saja sulit, bagaimana petani mau menjual hasil pertaniannya. Di beberapa daerah tidak sedikit petani yang membuang hasil buminya karena sulit didistribusikan. Padahal hasil pertanian seperti sayur, tidak tahan lama, '' ujar Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan itu.
Infrastruktur yang jelek juga menyebabkan mahalnya harga jual produk pertanian di tangan konsumen. Jika hal itu dibenahi, sambung dia, maka dapat memotong mata rantai penjualan sehingga diharapkan petani dan konsumen sama-sama diuntungkan. ''Tidak dipungkiri, selama ini yang mengambil banyak keuntungan adalah pelaku yang berada di antara petani dan konsumen.''
Menurut dia, apa yang dilakukan pada zaman mantan Presiden Suharto sudah pada track yang benar di mana pembangunan irigasi, bendungan, jalan-jalan di pedesaan digiatkan.
Seperti diketahui, saat ini kenaikan produksi pangan tidak sebanding dengan konsumsinya. Perlu adanya peningkatan pendidikan dan variasi/inovasi mengingat selama 15 tahun terakhir produksi padi per hektar hanya 5-6 ton. Ia menyayangkan short cut yang dipilih pemerintah untuk menutupi kekurangan pangan yakni dengan import. ''Kalau jangka pendek mungkin tidak apa-apa. Tapi kalau jangka panjang tentu berbahaya. Bagaimana kalau tiba-tiba negara kita diembargo?'' Karena itulah Waridin menekankan pentingnya pengembangan lembaga penelitian terkait hal tersebut. Ia mencontohkan produksi susu dan daging yang sebagian besar masih diimpor. Padahal konsumsi dua produk itu oleh masyarakat Indonesia masih sedikit.
Produk-produk pertanian lain misalnya gula, sayur, buah, beras, memang persentase importnya relatif sedikit. ''Namun jangan dilihat dari persentasenya karena penduduk Indonesia kan sangat banyak.''
Suami dari Prof Dr Indah Susilowati itu juga menyinggung masalah yang dihadapi petani saat ini di mana cenderung turunnya nilai tukar produk pertanian dibandingkan dengan produk nonpertanian. Cost petani melambung karena pengurangan subsidi untuk pupuk, apalagi saat ini pertanian kebanyakan digarap oleh petani berskala kecil (kurang dari 0,5 hektar) dan buruh tani, yang tergolong miskin dan rentan terhadap masalah pangan. ''Di Amerika Serikat yang notabene makanan utama penduduknya bukan nasi, namun pemerintah setempat tetap menyubsidi pupuk untuk pertanian padi.''
Peraih Doctor of Philosophy (PhD)Agriculture and Community Resource Development dari Universiti Putra Malaysia (1999) itu juga mencontohkan keadaan pertanian di Thailand di mana pihak BMG, lembaga penelitian, dan pembiayaan saling bekerjasama. Di Indonesia sayangnya, ujar dia, koneksi itu masih terpotong-potong. Pria kelahiran Pemalang 12 Februari 1962 itu yakin bahwa sebenarnya potensi Indonesia dalam pertanian, perikanan masih sangat besar asal dikelola dengan benar.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah sosialisasi yang gencar dari berbagai pihak terkait alternatif asupan karbohidrat selain nasi. Di beberapa wilayah di Indonesia yang sebenarnya makanan asli utamanya bukan nasi, sekarang bergeser ke nasi. Hal itu disebabkan adanya anggapan, orang yang makanan pokoknya bukan nasi adalah masyarakat kelas dua. Atau ada juga orang yang masih berpikiran kalau belum makan nasi, serasa belum makan. ''Itu kan tidak benar. Ketela, ubi-ubian, sagu, dan gandum juga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan karbohidrat.'' (H11-)

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe