eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

6:14 PM

Tan Malaka, Dilupakan dan Terbuang....

Posted by Eeda |

SEMARANG- Membaca laporan tentang Tan Malaka di Tempo
untuk edisi kemerdekaan sangat menggelitik saya untuk mengecek isi buku sejarah/IPS SD-SMA ke toko buku. Halaman per halaman saya buka, mencari kontent yang berhubungan dengan proklamasi dan sosok para pahlawan. Sayapun coba mengingat-ingat isi buku sejarah yang saya gunakan di sekolah dulu. Benar saja dugaan saya, Tan Malaka hampir tidak pernah disebut dalam buku-buku tersebut.

Saya hanya menemukan tulisan tentang Tan Malaka di salah satu buku SMP. Itupun sebenarnya fokusnya bukan tentang Tan Malaka, namun menceritakan tentang romusha. Di situ diceritakan bahwa romusha terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Bayah Banten. Dan di buku SMP yang saya baca itu, Tan Malaka hanya disebut sebagai seorang tokoh yang pernah bersembunyi di sana, menyamar sebagai juru tulis dengan nama samaran Ilyas Hussein.
Penulisan dengan gaya sambil lalu itu mengesankan perjuangan pemilik nama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka itu cuma ecek-ecek dan tidak penting untuk dibahas. Tidak sebanding dengan heroisme Soekarno-Hatta.
Padahal kalau kita kaji lebih dalam, seluruh hidup Tan hanya dipersembahkan untuk kemerdekaan bangsa ini. Ia bahkan rela tidak menikah dan meneruskan keturunannya karena harus berjuang melawan imperialisme penjajah. Para wanita yang ditaksir Tan mungkin berpikir ''Bagaimana masa depan saya nanti kalau bersuamikan orang seperti dia?'' Menurut catatan, Tan pernah ditolak cintanya 2 kali oleh orang yang sama. Alasan si wanita itu menolak Tan karena menganggapnya sebagai orang aneh. 20 tahun ia habiskan kucing-kucingan, lari dari 1 negara ke negara lain menghindari tentara Jepang,Belanda,Amerika yang sangat bernapsu membungkam Tan yang notabene saat itu sangat getol menyuarakan kemerdekaan.
Jasa Tan bagi negara ini hampir tak diketahui oleh genarasi sekarang. Tidak sepenuhnya salah mereka. Karena ya itu tadi, Tan hampir tak pernah disebut-sebut di buku sejarah. Dan seperti kita ketahui bersama, seorang anak mengenal sejarah pada awalnya kan dari bangku sekolah.
Kalau diceritakan dengan cara sambil lalu seperti itu atau bahkan tak disebut sama sekali, bagaimana anak bisa mengenal sang tokoh? wong yang sudah jelas-jelas diprofilkan secara khusus di buku-buku sejarah, belum tentu diingat, apalagi yang tidak.
Lantas siapa yang salah? Guru memang tidak bisa berbuat banyak karena ia hanya menjalankan apa yang sudah ada dalam kurikulum. Pressure untuk membimbing anak agar mendapatkan nilai baik dalam ujian nasional yang notabene tujuan akhir dari pendidikan di suatu jenjang menempatkan sejarah di nomor urut sepatu dalam skala prioritas, pelajaran-pelajaran mana saja yang dianggap penting untuk didalami agar lulus UN.
Singkatnya, pelajaran sejarah saat ini cenderung diremehkan dan dianggap kurang penting dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran yang lain seperti sains. Orangtua akan bangga jika anaknya memeroleh nilai 9 dalam Matematika. Kalau nilai sejarahnya bagus, sambutannya paling juga cuma adem-ayem. Jadinya, guru kurang bisa mematik rasa ingin tahu siswa terhadap pelajaran itu. Setidaknya mendorong agar terjadi diskusi di dalam kelas terkait behind the scene peristiwa sejarah. Misalnya tentang proklamasi. Di buku diceritakan bahwa yang memproklamirkan kemerdekaan RI adalah Soekarno-Hatta. Padahal seperti kita ketahui, sebelum itu, keduanya harus diculik dulu oleh Sukardi dkk agar mau memproklamirkan kemerdekaan RI. Jika si guru cukup pintar, harusnya itu bisa digunakan sebagai pematik untuk menggugah keingintahuan siswa, mengapa Soekarno-Hatta harus diculik dulu supaya mau memproklamirkan kemerdekaan? lha kalau tidak diculik oleh Sukarni Dkk, akankah kita bisa resmi merdeka pada 17-8-1945? Kenapa kedua tokoh itu waktu itu masih indrang-indring memproklamirkan kemerdekaan dan masih mau rundingan dulu dengan Jepang.
Adalah Tan Malaka yang mengkritik dan menentang rencana acara runding-rundingan itu. ''Kemerdekaan kok kolaborasi.'' Begitu kata Tan. Bagi dia, kemerdekaan itu harus sepenuhnya dan tanpa syarat (absolute.
Gregetan rasanya mengetahui bahwa jasa orang besar ini dilupakan oleh bangsa yang dibelanya. Itu baru Tan. Masih ada tokoh lain yang dianggap sepi oleh bangsa ini padahal sumangsihnya untuk bangsa ini sangan besar. M Natsir misalnya. Isi pidato-pidato Soekarno yang hebat itu ternyata yang mengkonsep adalah M Natsir, pendiri Partai Masyumi. Soekarno yang kita agung-agungkan itu ternyata menggunakan buku-buku Tan seperti Madilog ,Massa Actie sebagai panduan dalam pergerakannya.
Tahukah anak-anak sekolah kalau lagu Indonesia Raya karya WR Soepratman yang dikumandangkan dalam setiap upacara syairnya terinspirasi oleh buku Massa Actie karya Tan. WR Soepratman pada saat itu mengatakan, ia telah membaca buku Massa Actie, dan syair ''Indonenesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku'' dikutipnya dari sepenggal alinea yang ada di buku itu.
Ironis kalau anak bangsa ini sampai tidak tahu sejarah pahlawannya sendiri. Apakah mereka mungkin tak peduli lagi dan membuang semua momentum sejarah ke tempat sampah? seperti pemerintah yang tidak mau repot-repot melakukan tes DNA terkait penemuan dugaan makam Tan yang ditemukan penulis buku biografi Tan, Harry Poeze asal Belanda, di Kediri?
Hal itu menujukkan ketidakpedulian anak bangsa terhadap jasa para pahlawannya. Harusnya pemerintah bergerak cepat merespon permintaan Harry Poeze untuk melakukan tes DNA pada makam tersebut. (Bandingkan dengan kesigapan polisi melakukan tes DNA pada korban dan keluarga korban si jagal dari Jombang, Ryan. Padahal Ryan itu bukanlah siapa-siapa selain pembunuh kejam yang tak berperikemanusiaan). Toh pemerintah tak perlu repot-repot melacak keluarga Tan. Poeze sudah menemukannya dan yang bersangkutan siap di tes DNA. Seorang teman pernah bilang pada saya, kalau jasad yang ditemukan itu benar-benar jasad Tan, harus secepatnya dipindahkan ke taman makam pahlawan dengan upacara kenegaraan yang irupnya adalah Presiden RI. Saya kira hal itu tidak berlebihan, bahkan terlalu kecil jika dibandingkan dengan jasa-jasa Tan yang begitu besar bagi negara ini. Apa karena dia orang ''kiri'', lantas ia dianggap tabu untuk dihormati? Jangan menghakimi orang dari ''kanan'' dan ''kiri''nya semata. Walaupun ''kiri'' namun apa yang Tan lakukan seumur hidupnya hanya demi kemerdekaan dan kejayaan bangsa. Bandingkan dengan oknum-oknum yang mengaku ''anti kiri''/''nonkiri'',''kanan'' namun kerjanya memfitnah orang, memecah belah persatuan, merampas kemerdekaan orang dengan memenjarakan siapa saja yang beda pendapat darinya atau dianggap mengancam kekuasaannya,atau makan duit rakyat tanpa rasa berdosa.
Menurut saya, harus ada revolusi pendidikan di negara ini agar semua anak Indonesia tahu akar sejarah bangsanya. Percuma saja kita mencetak anak-anak yang pandai secara akademis namun tak mengenal siapa pahlawannya dan sejarah bangsanya. Tadi pagi (17/8) saya menonton salah satu acara infotainment. Walaupun disajikan secara ringan, namun cukup menggelitik tapi membuat gemas. Apa pasal, para artis muda disuguhi sederet pertanyaan tentang kemerdekaan dan nasionalisme. Sungguh ironis, mereka yang dipuja karena cantik dan ganteng dan karena keartisan mereka tentunya, namun tidak tahu berapa usia kemerdekaan (padahal mereka bersekolah). Ada yang menjawab ke-400, 200, sungguh ngaco! Ada juga yang mletat mletot saat ditanya arti bhineka tunggal ika. Benar-benar memalukan. Yah...jangan berharap bangsa ini jadi besar wong warganya saja tak tahu sejarah bangsanya dan mengenal para pahlawannya.
Coba tanya anak sekolah sekarang, lebih hafal disuruh nyebutin profil artis sinetron kesayangan dari pada para pendiri bangsa ini. Sungguh tragis...

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe