eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya


SEMARANG- Pemberian gelar doktor honoris causa pada Jaksa Agung RI Hendarman Supandji SH CN didasarkan karena keilmuan yang dimilikinya, bukan karena hal lain. Hal itu diungkapkan Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med Sp And menanggapi pro-kontra beberapa elemen yang mempertanyakan alasan Undip memberikan gelar itu pada Jaksa Agung yang dinilai masih banyak ''berhutang'' kasus penyelesaian korupsi.

Saat memberikan keterangan pers di di Gedung Prof Sudharto SH (17/7), Rektor menjelaskan, konsep pemberantasan korupsi yang selalu dipaparkan Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan seperti seminar terutama di Undip, dinilai sama dengan disertasi seorang doktor. ''Jaksa Agung selalu memaparkan tentang konsep mengedepankan kejujuran untuk mengubar kultur bangsa. Ia sadar, sampai masa jabatannya berakhirpun, tak mungkin korupsi akan hilang sama sekali.''
Karena itulah, ujar Rektor, Hendarman melakukan berbagai terobosan seperti mendirikan kantin kejujuran di berbagai sekolah. Saat ini sudah ada 7 ribuan kantin kejujuran yang ada di SMA di seluruh Indonesia. ''Hendarman berusaha membudayakan kejujuran sejak dini. Bagaimanapun juga, korupsi tidak bisa semata diberantas dengan peraturan dan perundangan. Semakin banyak peraturan dan perundangan dibuat, semakin banyak pula pelanggaran yang terjadi.''
Tak Pernah Mimpi<
Hendarman yang meraih gelar S1nya dari FH Undip pada 1972 itu mengungkapkan bahwa ia tak pernah mimpi akan mendapatkan gelar doktor honoris causa dari almamaternya. Sebenarnya, cita-cita awalnya ingin menjadi tentara. Namun karena tidak diterima, ia masuk FH Undip. ''Setelah lulus, saya lebih tertarik jadi hakim namun karena pada saat itu pekerjaan yang dilakukan kurang menantang yakni hanya mengelipingi berita-berita di koran, maka saya berhenti.'' Pada 1973 ia mulai merintis karirnya di kejaksaan walaupun sebenarnya bertentangan dengan hati nurani karena pada saat itu pemerasan dan penyuapan sangat marak.
Ingin Berhenti
Ia mengaku sempat beberapa kali ingin berhenti dari kejaksaan namun dosennya di FH Undip, Prof Satjipto Rahardjo menasihatinya agar tidak putus asa menghadapi rintangan. Dalam meniti karier di kejaksaan, Hendarman lebih banyak melibatkan diri dalam pembinaan mental/jiwa aparat kejaksaan dalam hal kejujuran daripada mengurus perkara. Untuk meningkatkan kinerja jaksa, Hendarman berusaha merampingkan organisasinya menjadi miskin struktur namun kaya fungsi. Pasalnya, dengan organisasi yang besar, beban pekerjaan tidak imbang. ''Ada yang menganggur tapi ada pula yang kerja sampai pagi.''
Salah satu hal yang menimbulkan masalah dalam kinerja para jaksa adalah minimnya anggaran. Dalam satu tahun, kata dia, jumlah perkara pidana umum yang masuk ke kejaksaan mencapai 250 ribu. Padahal hanya 6 ribu perkara yang dibiayai pemerintah. Sisanya, jaksa harus keluar ongkos sendiri seperti memangil saksi, korban, dan sebagainya. ''Inilah salah satu sebab lahirnya jaksa-jaksa nakal. Jelas gajinya tak akan cukup, apalagi ia harus membiayai sekolah anak, bayar listrik, dan sebagainya. Masalah ini sudah saya sampaikan ke DPR.''
Terobosan lain yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja para jaksa yakni mengubah instrumen penilaian dari jam kerja menjadi hasil kerja. ''Ada jadwal yang sudah ditetapkan dalam menyelesaikan perkara. Jika molor, ada sanksinya.'' (H11-)

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe