eeda journey

catatan reportase seorang jurnalis:
pendidikan,hukum,sosial politik, budaya

SEMARANG- Di alam demokrasi saat ini, kesempatan anak baik perempuan maupun laki-laki untuk mengenyam pendidikan hampir sama besarnya. Namun dalam memilih jurusan, misalnya yang dari SMP ke SMK atau ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, keputusan masih didominasi atas dasar ''kenyamanan'' dan ''kepantasan''. Misalnya, seorang murid perempuan yang ingin melanjutkan ke SMK, akan merasa lebih nyaman jika belajar di sekolah yang punya jurusan ''feminin'' seperti tata boga, tata busana, dan sejenisnya. Begitu pula dengan murid laki-laki yang kebanyakan memilih jurusan ''maskulin'' seperti teknik mesin, sipil, dan sebagainya. ''

Hal seperti itu sebenarnya tidak masalah asalkan memang karena pilihan (kata hati), bukan terpaksa. Karena itulah sejak dini, wawasan gender peserta didik harus dibuka. Ujung tombaknya selain guru adalah kepala sekolah dan komite.'' Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Pusat Studi Gender (PSG) IAIN Walisongo Dra Jauharotul Farida MA.
Lebih lanjut Farida memaparkan, siswa yang berani keluar dari ''norma'' tersebut, anggapan normal atau tidaknya berbeda pada tiap individu atau kelompok masyarakat. Masyarakat banyak juga yang open minded, imbuhnya, namun belum tentu bisa melaksanakannya. Lingkungan juga ikut memengaruhi. ''Tentu ada perbedaan cara padang antara desa yang kontrol masyarakatnya masih kuat dan kota yang longgar.''
Hal-hal lain yang berperan adalah faktor budaya dan agama. Namun demikian, ungkap Farida, harus diakui bahwa jumlah wanita yang berkarya di bidang berbau ''maskulin'' lebih sedikit daripada pria yang terjun di bidang ''feminin.'' Misalnya, jumlah perempuan yang menekuni bidang perbengkelan jauh lebih sedikit daripada pria yang berprofesi sebagai koki. ''Perjalanan kita untuk membuka wawasan gender masyarakat masih panjang.'' PSG IAIN Walisongo sendiri, tutur Farida, telah melakukan sosialisasi wawasan gender di berbagai sekolah dan madrasah.
Yang harus ditanamkan sejak dini pada para siswa adalah, tandas dia, bahwa secara kodrat perempuan dan lelaki itu berbeda, begitu juga kebutuhannya. ''Kodrat bukan pilihan dan tidak ada hubungannya dengan kemampuan.'' Ia mencontohkan seorang pekerja wanita yang mendapatkan cuti menstruasi dan hamil, sedangkan pria tidak. Keadaan tersebut, ujar dia, jangan dijadikan dalil bahwa pekerja wanita tidak produktif. Namun demikian, Farida juga mengecam keras perempuan yang menggunakan kodratnya sebagai alat untuk mendapatkan dispensasi yang tidak sesuai peruntukannya. ''Kecengengan seperti itu tidak bisa ditolelir.'' (H11-)

Grab this Widget ~ Blogger Accessories
Subscribe